BAB I
PENDAHULUAN
I.1. Latar Belakang
Beberapa tahun yang lalu batik selalu dianggap sebagai jenis busana yang kuno, yang dipakai orang-orang tua dan zaman dahulu. Namun saat ini kejadian tersebut sudah berbalik 180 derajat. Sekarang banyak kaum muda yang suka dan tertarik untuk mengenakan busana yang berbahan dasar kain batik, baik acara non formal maupun acara formal. Apalagi dengan ditetapkanya batik sebagai heritage culture oleh UNESCO sebagai warisan Dunia. Tidak terkecuali bagi kaum muslim, mereka juga tidak ketinggalan untuk memilih batik dalam berpakaian. Apalagi saat ini banyak tersedia busana muslim batik baik untuk wanita maupun untuk laki-laki, yang model dan desainnya tidak kalah menarik dengan busana yang lainya.
Mereka membuat busana muslim dengan bahan batik. Sekarang ini para wanita muslimah juga bisa menggunakan batik muslim untuk acara sehari hari mereka. Dalam bekerja pun sekarang, mengenakan batik sebagai seragam kantor untuk hari tertentu. nah lalu bagaimana cara dan kiat memilih busana kerja muslim berbahan batik? Tentunya yang memberikan peluang kenyamanan bekerja dan up to date, sesuai dengan perkembangan mode yang ada. Sehingga memberikan kesan modis dan nyaman pada si pemakai.
Dunia busana muslim selalu dapat menghadirkan kreasi baru yang mengejutkan. Salah satunya adalah busana muslim dengan motif batik. Batik sendiri adalah kain yang selalu manis bila dimodifikasi menjadi busana jenis apapun. Tidak terkecuali dengan busana kerja muslim. Modifikasi apik kain batik ke dalam aplikasi busana muslim ternyata memang menghasilkan kreasi yang manis dan juga menarik perhatian mata yang melihatnya. Keberanian desainer dalam membuat busana muslim dengan bahan batik patut diberi pujian yang tinggi. Karena dengan menciptakan busana muslim batik, desainer tersebut telah melakukan dua kebaikan sekaligus. Kebaikan pertama adalah dengan menjaga budaya bangsa, yaitu batik. Sedangkan kebaikan yang kedua adalah dengan menjaga nilai-nilai ajaran Islam melalui kreasi busana muslim.
Seperti guna kain batik pada umumnya, batik Jombang juga digunakan untuk pakaian harian, terutama untuk baju atau pakaian-pakaian resmi. Namun demikian, setakat ini kain batik di Jombang termasuk kain yang mempunyai nilai harga yang mahal terutama di wilayah Jombang, sehingga kain batik kurang digunakan pakaian-pakaian untuk kerja kasar ataupun pakaian tidur. Secara khusus batik Jombang digunakan untuk seragam para pegawai di Jombang setiap hari Jumat ataupun Sabtu. Mulai 2006/2007 digunakan juga untuk para pelajar diseluruh wilayah Jombang, pada hari Rabu dan Kamis.
Penjelasan tentang batik Jombang dijelaskan juga oleh Ibu Kusmiati Slamet bahwa motif batik Jombang menggunakan motif dengan khas paten relief Candi Rimbi, yaitu model candi yang melambangkan pintu gerbang masuk Kerajaan Majapahit. Sedang motif yang dikembangkan berupa motif tawang dan kaning dengan warna dasar yang menekankan pada kehijauan dan kemerahan yang melambangkan kota Jombang adalah ijo abang (hijau merah). Serta motif-motif yang lain seperti bunga jombang, godong ploso, ringin conthong, gerdu papak dan masih banyak lagi motif batik khas jombang.
Mengingat bahwa segala praktik sosial yang terjadi dalam kehidupan sosial itu kompleks dan menyeluruh maka budaya bisa diartikan berbunyi “budaya adalah seluruh cara hidup” (culture is a whole way of life). Sebagai konsep, pengertian yang kedua ini lebih bersifat deskriptif dan etnografis. Tekanannya adalah pada hubungan aktif dan tak terpisahkan antara unsur-unsur atau praktik-praktik sosial yang biasanya dipisahkan Dalam konteks inilah “teori budaya” bisa didefinisikan sebagai “kajian tentang hubungan antara unsur-unsur dalam keseluruhan cara hidup”. Karenanya, budaya bukanlah suatu praktik, juga bukan semata kesimpulan deskriptif "adat-istiadat atau pun dongeng-dongeng" masyarakat seperti yang umum dalam aliran antropologi tertentu. Tapi, budaya menyelusup ke seluruh praktik-praktik sosial, dan merupakan penjumlahan saling hubungan antara praktik-praktik sosial tersebut.
Praktik-praktik sosial yang ada niscaya beragam, namun meskipun terdapat berbagai praktik yang boleh jadi tidak segaris namun perbedaan di antara praktik-praktik ini tidak mutlak dan pada dasarnya merupakan varian-varian dari praktis.
Strukturalisme adalah faham atau pandangan yang menyatakan bahwa semua masyarakat dan kebudayaan memiliki suatu struktur yang sama dan tetap.
Ciri-ciri strukturalisme adalah pemusatan pada deskripsi keadaan aktual objek melalui penyelidikan, penyingkapan tabiat, sifat-sifat yang terkait dengan suatu hal melalui pendidikan. Ciri-ciri itu bisa dilihat dari beberapa hal; hirarki, komponen atau unsur-unsur, terdapat metode, model teoritis yang jelas dan distingsi yang jelas.
Berdasarkan latar belakang tersebut maka penulis
1.2. Rumusan Masalah
Bagaimana Kajian Busana Kerja Muslim dengan Bahan Batik Jombangan ditinjau dari teori strukturalisme dan kulturalisme?
1.3. Tujuan
1.4. Manfaat
BAB II
PEMBAHASAN
A. Busana Kerja Muslim
Berkepribadian dinamis, berwibawa, dan professional dalam bekerja adalah impian semua wanita. Di zaman modern saat ini yang menjadi busana kerja para wanita karier adalah blazer dan rok suai diatas lutut yang dianggap lebih praktis dan tidak ribet.Wanita muslimah yang berkarier diasumsikan bahwa mengenakan busana muslim itu ribet dan tidak praktis serta tidak mengikuti trend dunia.
Banyak generasi bangsa ini yang terpengaruh dengan budaya barat dalam hal berbusana, dimana membuka aurat adalah suatu kebanggaan bagi mereka dengan memperlihatkan siluet dan bentuk tubuh.Persepsi tersebut adalah salah dan cara pandang yang sempit, terutama para wanita muslim yang membutuhkan kedinamisan untuk bergerak dalam bekerja.Kini para pecinta busana muslim mampu menghadirkan bukti-bukti bahwa asumsi tersebut adalah tidak benar.
Busana muslim tidak menjadi halangan untuk beraktivitas, namun malah sebaliknya, ia bisa tampil chic, modern, sophisticated, dan bisa tetap memperlihatkan citra dirinya sebagai wanita professional, meskipun tetap mempertahankan kaidah-kaidahnya, yakni tidak memperlihatkan lekuk tubuh, sehingga sesuai dengan nilai syar’i.
Berbanggalah untuk wanita muslim yang berkarier, kini bisa tentukan busana kerja yang tepat namun tetap bisa tampil stylish dan representative. Saat ini style ‘blazer accent’ sedang trend, blazer yang di padukan dengan blouse atau gamis dan ini bisa diterapkan untuk busana kerja muslim. Kesan clean dan professional dalam gaya ini sangat terlihat, disamping itu tidak menampakkan lekuk-lekuk tubuh. Dan yang harus kita ingat bahwa busana muslim bukan menjadi halangan bagi wanita yang bekerja di kantor maupun di lapangan. Hanya saja tinggal anda menentukan gaya busana yang sesuai dengan karakter dan profesi anda dalam bekerja.
simak tehnik memilih busana muslim dari bahan batik di bawah ini.
Teknik Memilih Busana Kerja Muslim Batik
· Kaidah berbusana
Ini adalah hal yang harus mendapat perhatian utama sewaktu kita ingin memilih busana muslim batik yang ingin dikenakan. Terutama bagi kaum wanita. Perhatikan dengan cermat dan teliti, apakah busana tersebut dibuat sudah sesuai dengan tuntunan dalam agama Islam. Misalnya meski sudah tertutup rapat namun busana muslim batik tersebut tidak boleh terlalu ketat sehingga menampakan lekukan tubuh. Demikian pula dengan penutup kepalanya. Apakah benar benar bisa menutupi seluruh bagian kepala kecuali mukanya saja. Juga tangan dan kaki, apakah bagian tersebut juga tertutup dengan rapat kecuali pada telapaknya.
· Paduan warna
Meski busana muslim itu harus bisa menutup semua anggota bagian tubuh kecuali muka, tangan dan kaki bagian bawah, namun hal ini bukan berarti kita tidak boleh tampil gaya. Karena keindahan itu juga merupakan bagian dari iman, asal jangan terlalu berlebih. Jadi ketika memilih busana muslim batik, perhatikan warnanya apakah sesuai dengan warna kulit kita serta warna kain lain yang juga kita kenakan.
· Sesuaikan dengan suasana
Ketika memilih busana muslim batik, sesuaikan dengan keperluan yang ada. Bila digunakan untuk bekerja, pilihlah jenis busana yang simpel dan praktis agar bisa memudahkan kita untuk bergerak ketika menjalankan tugas di kantor atau tempat kerja. Bila untuk bersantai saja, pilihlah busana muslim batik yang tidak terlalu ribet serta tidak menimbulkan kesan formal. Busana tersebut harus mampu memberikan suasana kasual namun tetap sopan dan tidak norak. Sedangkan bila mau digunakan untuk pesta kita bisa memilih busana yang lebih anggun dan bisa menimbulkan kesan keceriaanJangan lupa untuk lakukan perawatan terhadap bahan batik anda agar busana muslim berbahan batik anda bisa awet dan tetap bagus.
Dunia busana muslim selalu dapat menghadirkan kreasi baru yang mengejutkan. Salah satunya adalah busana muslim dengan motif batik. Batik sendiri adalah kain yang selalu manis bila dimodifikasi menjadi busana jenis apapun. Tidak terkecuali dengan busana muslim. Modifikasi apik kain batik ke dalam aplikasi busana muslim ternyata memang menghasilkan kreasi yang manis dan juga menarik perhatian mata yang melihatnya. Keberanian desainer dalam membuat busana muslim dengan bahan batik patut diberi pujian yang tinggi. Karena dengan menciptakan busana muslim batik, desainer tersebut telah melakukan dua kebaikan sekaligus. Kebaikan pertama adalah dengan menjaga budaya bangsa, yaitu batik. Sedangkan kebaikan yang kedua adalah dengan menjaga nilai-nilai ajaran Islam melalui kreasi busana muslim.
B. Batik Jombangan.
BATIK Jatipelem sebenarnya sudah ada sejak tahun 1993 silam. Namun seiring perkembangan waktu, batik Jatipelem sementara ini dikembangkan dua pengusaha lokal. Yaitu Bu Slamet yang diwakili putrinya, Lilik Sri Rahayu dengan nama batik Litabena dan batik milik BU Maniati yang diberi nama batik Sekar Jati Star.
Kedua pengusaha lokal ini masing-masing memiliki lokasi pengerjaan batik yang cukup luas di area belakang rumah. Tempat pembuatan batik printing yang dilengkapi sejumlah peralatan, tempat penyucian sekaligus penjemuran batik, sampai dengan ruangan khusus bagi pekerja yang melakukan batik tulis. Keduanya juga melengkapi usahanya dengan penjahit khusus bagi pemesan yang ingin langsung menggunakan produk lokal ini.
Model yang ditawarkan pun bermacam sesuai tren saat ini, seperti mode kantung dengan lengan sepertiga yang dilengkapi deker. Serta model blus memanjang dengan nuansa renda di bagian krah dan lengan. Semuanya terlihat cantik, menyesuaikan dengan bawahan, pasangan sarimbit dan asesoris yang dipergunakan.
Tidak semua batik lahir dari Solo dan Yogyakarta. Buktinya, di Kabupaten Jombang juga mempunyai pakaian tradisional tersebut. Bahkan, karena motifnya yang khas, batik yang lahir dari kota santri ini kerap disebut batik Jombangan. Disebut khas, karena motif batik ini hanya ada di wilayah Jombang, Macam Motif Batik jombangan yakni diambil dari relief yang ada di candi Arimbi, Bareng, Jombang. Motif ini juga telah dipatenkan oleh Pemkab Jombang.
Produk batik yang diberi nama Batik Jombangan ini lebih banyak mengandalkan warna-warna alami yang bahan pewarnanya diambil dari bahan sisa (limbah) yang diolah dalam paduan aneka motif khas Jombangan.
Corak Batik Jombangan terinspirasi dari sebuah candi yang ada di kecamatan setempat yakni CANDI ARIMBI, sehingga batik JOMBANGAN mempunyai ciri khas dan motif tersendiri yang tentunya berbeda dengan motif dari batik solo atau batik lainya.
Warnanya pun juga mempunyai ciri khas tersendiri yakni perpaduan dari bahan-bahan limbah atau sisa kemudian diolah sedemikian rupa sehingga menjadi corak dan warna yang terkesan alami dan begitu khas.
Ada juga memakai yang lebih alami dan bahannya pun di ambil dari dari beberapa tumbuh-tumbuhan maupun buah-buahan yang ada di alam. sekitar Salah satunya adalah menggunakan kulit rambutan.
Dalam hal produksi batik Jombangan ini, Motifnya nya pun beraneka macam mulai dari motif Arimbi (satu bentuk relief candi Arimbi satu candi di Kecamatan Bareng), motif rumpun tebu hingga motif suasana desa dan berbagai motif khas Jombangan. Harga yang mereka tawarkan pun cukup bervariatif mulai dari Rp.18 ribu hingga Rp.300 ribu tergantung dari motif dan bahannya kainnya.
Adapun kesejarahan dipakainya salah satu relif arimbi sebagai motif batik Jombangan, bukan berangkat dari ide perajin batik. Tetapi konon karena adanya keinginan elite pemerintahan Jombang untuk memperkenalkan keberadaan Candi Arimbi pada masyarakat luas. Bila demikian adanya, maka ada dua pola mengeksplorasi motif batik. Yaitu eksplorasi yang dilakukan pemerintah (top down) serta hasil kreasi masyarakat (bottom up). Dua pola ini nampaknya masih relevan untuk terus dilakukan.
Pada awalnya motif batik Jombang menggunakan motif alam sekitar, yaitu dengan motif bunga melati, tebu, cengkeh, pohon jati dan lain sebagainya. Setiap motif yang diciptakan biasanya diberi nama, seperti cindenenan, peksi/burung hudroso, peksi manya dan turonggo seto (kuda putih). Kemudian Ibu Hj. Maniati bersama Ibu Bupati kabupaten Jombang (isteri Bupati/DO), bersepakat/setuju bahawa “Motif Batik Tulis Khas Jombang” diambil dari salah satu relief Candi Arimbi yang terletak di desa Ngrimbi, Kecamatan Bareng, Kabupaten Jombang. Candi Arimbi merupakan candi peninggalan kerajaan Majapahit.
Motif batik Jombang “hijau”
Pada penghujung tahun 2005, penulis bertemu dengan Bapak Bupati Jombang untuk membicarakan motif batik khas Jombang. Dimana motif batik ini akan digunakan sebagai seragam para pegawai kabupaten Jombang. Ketika itu Bapak Bupati menunjukkan dua buah baju batik dengan motif relief Candi Arimbi. Baju tersebut bermotif batik warna merah dan yang satu lagi bermotif batik warna hijau. Untuk seragam pegawai di Jombang lebih baik menggunakan baju batik yang motifnya berwarna merah dan Bapak Bupati menyetujuinya.
Motif batik Jombang lainnya
Penjelasan tentang batik Jombang dijelaskan juga oleh Ibu Kusmiati Slamet bahwa motif batik Jombang menggunakan motif dengan khas paten relief Candi Rimbi, yaitu model candi yang melambangkan pintu gerbang masuk Kerajaan Majapahit. Sedang motif yang dikembangkan berupa motif tawang dan kaning dengan warna dasar yang menekankan pada kehijauan dan kemerahan yang melambangkan kota Jombang (ijo abang (hijau merah)).
C. Teori Srukturalisme dan kulturalisme
Desantara Pelembagaan cultural studies di Inggris berjalan pesat khususnya pada 1960-an dan sesudahnya. Dua faktor utama yang sangat berperan: pertama, berdirinya Centre for Contemporary Cultural Studies di Birmingham; kedua, berdirinya kursus-kursus dan publikasi-publikasi dari berbagai sumber dan tempat. Pada gilirannya, ada dua paradigma yang sangat mewarnai dalam mazhab pemikiran ini, yakni paradigma kulturalisme dan paradigma strukturalisme.
Kulturalisme
Paradigma kulturalisme sejatinya merujuk pada tiga serangkai Hoggart-Williams-Thompson yang membentuk pengertian dasar budaya dalam Cultural Studies. Williams mengkonseptualisasikan "budaya" dengan cara yang berbeda. Pertama, budaya didefinisikan sebagai “hal yang biasa-biasa saja” (culture is “ordinary”). Ia adalah hal-hal yang umum. Budaya adalah segala sesuatu yang berada di sekeliling kita, sesuatu yang sifatnya sehari-hari. Pengertian macam ini melawan konotasi budaya yang selama ini lebih diwarnai sebagai prestasi peradaban yang pada dasarnya mengangkat budaya tertentu sebagai beradab dan menyingkirkan budaya-budaya "lain" yang dianggap tak beradab. Sebagai contoh kecil, dalam konteks Indonesia, rezim Orde Baru menjalankan politik kebudayaan yang menganut pengertian budaya—sebagai prestasi peradaban—di atas dengan menciptakan kosakata utama, yakni puncak kebudayaan nasional dalam upayanya melakukan intervensi kebudayaan ke kebudayaan-kebudayaan lokal. Lewat Williams, konotasi ini lantas diputar-balikkan. Jadi, pengertian "budaya" yang digarap-ulang Williams ini lebih berada di ranah "gagasan".
Kedua, pengertian budaya yang mengacu pada praktik-praktik sosial. Berbeda dengan yang pertama, pengertian ini lebih bersifat antropologis. Mengingat bahwa segala praktik sosial yang terjadi dalam kehidupan sosial itu kompleks dan menyeluruh maka budaya bisa diartikan berbunyi “budaya adalah seluruh cara hidup” (culture is a whole way of life). Sebagai konsep, pengertian yang kedua ini lebih bersifat deskriptif dan etnografis. Tekanannya adalah pada hubungan aktif dan tak terpisahkan antara unsur-unsur atau praktik-praktik sosial yang biasanya dipisahkan Dalam konteks inilah “teori budaya” bisa didefinisikan sebagai “kajian tentang hubungan antara unsur-unsur dalam keseluruhan cara hidup”. Karenanya, budaya bukanlah suatu praktik, juga bukan semata kesimpulan deskriptif "adat-istiadat atau pun dongeng-dongeng" masyarakat seperti yang umum dalam aliran antropologi tertentu. Tapi, budaya menyelusup ke seluruh praktik-praktik sosial, dan merupakan penjumlahan saling hubungan antara praktik-praktik sosial tersebut. Dalam definisi yang Oxford English Dictionary, budaya diberikan pengertian yang mencerminkan penjumlahan tersebut, Culture: cultivation, tending, in Christian authors, worship; the action or practice of cultivating the soil; tillage, husbandry; the cultivation or rearing of certain animals (e.g. fish); the artificial development of microscopic organisms, organisms so produced; the cultivating or development (of the mind, faculties, manners), improvement or refinement by education and training; the condition of being trained or refined; the intellectual side of civilization; the prosecution or special attention or study of any subject or pursuit.
Di sini kita lantas bersentuhan dengan pertanyaan apakah sesungguhnya yang dipelajari dalam budaya itu, bagaimanakah budaya itu dipelajari dan bagaimana ia dipecahkan atau dicarikan solusi. Pertama, yang dipelajari dalam “budaya” itu tak lain adalah pola-pola pengorganisasiannya yang memiliki identitas dan hubungan yang tak terduga selain diskontinuitas yang juga tak terduga di dalam atau yang menggarisbawahi semua praktik sosial.
Karena itu, kedua, sebagai upaya menyingkap cara kerja budaya adalah dengan analisis budaya yang berusaha menyingkap sifat pengorganisasiannya yang merupakan kompleks hubungan-hubungan ini. Langkah awalnya adalah berupaya menyingkap pola-pola karakteristik budaya yang khas. Kita akan mendapatkan bahwa budaya itu bukan di dalam aktivitas-aktivitas seni, produksi, perdagangan, politik, bersekolah, berolahraga dan mengasuh keluarga, yang diperlakukan secara terpisah, melainkan dengan mempelajari pengorganisasian umum (semua aktivitas) budaya itu di dalam contoh tertentu. Ketiga, Tujuan analitis atas budaya ini adalah mencerap bagaimana interaksi antara seluruh praktik dan pola ini dihayati dan dialami secara keseluruhan di dalam periode tertentu. Dalam kata lain, tujuan analitis adalah mencari apa yang disebut dengan “struktur perasaan” (structure of feeling), yakni kategori-kategori yang secara bersamaan mengorganisasi kesadaran empirik suatu kelompok sosial tertentu dan dunia imajinatif yang diciptakan oleh sang penulis. Struktur ini sudah barang tentu diciptakan secara kolektif. Tekanan yang diberikan terutama pada saling keterkaitan antara praktik, totalitas yang mendasari, dan homologi-homologi antara praktik dan totalitas.
Dari sini paradigma dominan dalam cultural studies mengkristalkan konsepnya. Budaya dikonseptualisasikan saling berkelindan dengan seluruh praktik sosial. Praktik-praktik sosial ini sebagai bentuk umum aktivitas manusia merupakan praksis inderawi manusia, aktivitas di mana laki-laki dan perempuan membentuk sejarah. Konsep semacam ini bertentangan dengan cara metafor basis-superstruktur merumuskan hubungan antara kekuatan-kekuatan ideal dan material, khususnya di mana "basis" dianggap ditentukan oleh "ekonomi" dalam pengertiannya yang sederhana. Formulasi yang ditawarkan melibatkan dialektika antara makhluk sosial dan kesadaran sosial di mana keduanya tidak bisa dipisahkan ke dalam kutub-kutub yang berbeda dengan tegas. Definisi “budaya” ini meliputi baik makna maupun nilai yang muncul di tengah-tengah kelompok dan kelas sosial yang berlainan. Makna dan nilai ini terbentuk atas dasar kondisi dan hubungan historis yang menjadi pegangan dan meliputi kondisi eksistensi kelompok-kelompok dan kelas-kelas sosial tersebut; dan sebagai tradisi dan praktek yang dihayati melalui mana “pemahaman” diungkapkan dan diwadahi.
Strukturalisme
Paradigma strukturalis merujuk terutama pada “kondisi-kondisi yang ditentukan” (determinate conditions). Paradigma ini menegaskan tentang Manusia boleh jadi sadar bahwa ia bisa merubah kondisi-kondisi sosialnya, namun bagaimanapun ia tetap terikat oleh kenyataan bahwa di dalam dunia kapitalis, ia (baik laki-laki maupun perempuan) ditempatkan dan diposisikan dalam relasi-relasi yang lantas membentuknya sebagai agen. Strukturalisme membawa kita untuk mulai memikirkan relasi-relasi dari suatu struktur atas dasar yang lain selain reduksinya pada hubungan-hubungan antara "manusia". Inilah level abstraksi Marx yang istimewa. Abstraksi yang menyanggupkannya meninggalkan titik berangkat yang jelas namun keliru dari "ekonomi politik" individu semata.
Ini berhubungan dengan kekuatan kedua strukturalisme yang mengakui bahwa bukan hanya abstraksi sebagai keharusan bagi instrumen pemikiran untuk menyesuaikan “relasi-relasi real”, tapi juga adanya gerakan yang berkelanjutan dan kompleks di antara level-level abstraksi yang berbeda. Karena level-level abstraksi yang beragam itu berasal dari berbagai praktik, maka perhatian pada aneka macam praktik itu merupakan hal yang niscaya terjadi. Ini menggiring pada pemikiran atau analisis tentang kompleksitas dari realitas demi mengungkapkan hubungan-hubungan dan struktur-struktur yang tak bisa dilihat oleh mata telanjang. Titik berangkatnya terletak pada penegasan strukturalisme bahwa pikiran tidak merefleksikan realitas, melainkan mengartikulasikan dan mengapropriasi realitas itu sendiri.
Kekuatan lainnya dari strukturalisme adalah tekanannya pada konsepsi “keseluruhan”. Berbeda dengan kulturalisme yang menekankan pada partikularitas radikal dari praktik-praktiknya, mode konseptualisasi strukturalisme atas "totalitas" mengandung kesederhanaan kompleks (complex simplicity) dari totalitas ekspresif di belakangnya. Kompleksitasnya dibentuk oleh kecairan yang memudahkan bagi praktik-praktik untuk keluar masuk dari satu ranah ke ranah lainnya. Tapi, kompleksitas ini bisa direduksi secara konseptual pada "kesederhanaan" praksis—yakni aktivitas manusia sendiri—di mana kontradiksi yang sama senantiasa muncul, yang secara homolog terefleksi di dalam setiap praktik. Strukturalisme berjalan lebih jauh dengan mendirikan mesin "Struktur" yang karakteristik utamanya adalah kemampuannya untuk membiakkan-diri-sendiri, dilengkapi dengan instansi-instansi yang tersendiri. Namun, ia merepresentasikan perkembangan yang melampaui kulturalisme dalam konsepsi tentang kompleksitas niscaya dari kesatuan suatu struktur. Ringkasnya, inilah yang disebut kekuatan transformasi dari strukturalisme. Transformasi di sini bukan diartikan dengan perubahan, melainkan dengan alih-ubah. Ia adalah kemampuan konseptual untuk memikirkan suatu kesatuan yang dikonstruksi melalui perbedaan-perbedaan praktik daripada homologinya.
Dari sini mungkinlah membayangkan adanya “kesatuan” formasi sosial sebagai dikonstruksi dari perbedaan, bukan dari identitas. Ironi dan absurdnya, tekanan pada perbedaan ini bisa dan telah membawa strukturalisme kepada heterogenitas konseptual yang mendasar di mana justru seluruh struktur dan totalitas lenyap. Ini terlihat pada Foucault dan kaum pasca-Althusserean lain yang meradikalkan heterogenitas bukan hanya ke ranah relatif tapi sampai ke ranah mutlak. Kontradiksi-diri inilah yang dikandung oleh strukturalisme. Ia mempertahankan kesatuan-dalam-perbedaan (unity-in-difference). Di level inilah Althusser mencuatkan persoalan yang wajar untuk muncul, yakni problematika otonomi relatif, “over-determinasi” dan juga studi artikulasi. Memang, artikulasi mengandung bahaya terjerumus formalisme yang keterlaluan, namun ia memiliki keuntungan yang penting yang menyanggupkan kita memikirkan tentang bagaimana praktik-praktik spesifik—yang diartikulasikan secara kontradiktif dan tidak tampak dalam arah, titik, dan momen yang sama—bisa dipikirkan bersama-samamengkonseptualisasikan kekhususan praktik-praktik yang berbeda (yang secara analitis dipisahkan, diabstraksikan) tanpa kehilangan pegangan pada untaian yang dibentuknya. Sementara, kulturalisme yang senantiasa menandaskan kekhususan praktik-praktik yang berbeda—"budaya" jangan sampai diserap ke dalam "ekonomi", namun kehilangan cara yang pas untuk menegaskan kekhususan ini secara teoritis. sekaligus. Tegasnya, paradigma strukturalis, ketika dikembangkan dengan wajar, bisa membawa kita mulai benar-benar
Kekuatan ketiga strukturalisme terletak pada decentering “pengalaman” dan upaya menjelajahi kategori “ideologi” yang terabaikan. Aspek-aspek ini bermunculan dalam pemikiran Louis Althusser dan strukturalis-strukturalis Marxis. Tepatnya, Althusser mengkonseptualisasikan ideologi ini sebagai kategori-kategori nir-sadar yang di dalamnya kondisi-kondisi riil eksistensi direpresentasikan dan dihayati. Kondisi riil dipandang “beroperasi” di dalam relasi imajiner. Tidak heran kalau Althusser ketika “membaca” Marx dalam Reading Capital ia menyatakan bahwa mode produksi akan bisa dipahami dengan baik jika dilihat seolah-olah “terstruktur seperti bahasa”.
Pada titik ini kita bisa memungut dari Gramsci bahwa tepat di level nir-sadar, sekaligus juga common sense, kita bisa melihat adanya formasi ideologi-ideologi yang lebih aktif dan organik. Ideologi-ideologi yang punya kemampuan merasuk di ranah common sense dan tradisi populer, dan melalui perasukan itu mengorganisir laki-laki dan perempuan.
Itulah gambaran ringkas, dua paradigma yang lazim dalam CS. Di sini kemudian perlu ditegaskan bagaimana karakter CS ini secara umum. Pertama, persoalan subjek, subjek diyakini bersifat transhistoris dan “universal”. Ini kelihatan pada pikiran-pikiran Lévi-Strauss, Freudian, Lacan dan semiotik awal.
Selanjutnya, tentang “ekonomi-politik” budaya. Ya, bau tradisi Marxis sangat jelas di sini. Di level ini perhatian pada proses ekonomi dan struktur produksi kultural lebih besar daripada kepada aspek kultural-ideologis yang berperan membentuk kesadaran palsu.
Setelah itu, tentang “perbedaan”. Perbedaan ini membawa pada heterogenitas yang hanya bisa ditelusuri lewat analisis konkret yang terarah pada formasi ideologis dan formasi diskursif. Analisis-analisis konkret ini kelihatan pada karya Foucault dan Gramsci.
Kesimpulannya, bahwa kekhususan praktek-praktek yang berbeda berhubungan untuk menjadi bentuk-bentuk kesatuan artikulasi yang bisa dikembalikan pada metafor basis/suprastruktur.
Karya Richard Hoggart Use of Literacy misalnya berupaya mendeskripsikan budaya kelas pekerja Inggris di masa kecil Hoggart sendiri—dimana ia merupakan bagiannya. Hoggart memang dibesarkan dalam kehidupan kelas bawah yang dianggap tidak berbudaya. Karya-karya Raymond Williams Culture and Society dan The Long Revolution meneruskan langkah-langkah yang dibuka Hoggart. Williams menyuarakan tentang tradisi (tradisi “masyarakat-dan-budaya”) yang bermain-main di ranah definisi dan cara hidup. Williams singkatnya ingin menegaskan bahwa budaya itu adalah hal biasa-biasa saja, yang kita alami sehari-hari (culture is ordinary). Upaya Hoggart dan Williams ini dilanjutkan oleh karya tebal Edward P. Thompson yang berjudul Making of the English Working Class. Di dalam bukunya itu Thompson menelusuri secara historis bagaimana formasi budaya kelas dan tradisi populer berjalan di Inggris. Buku-buku inilah yang cukup kuat membentuk batu awal “Cultural Studies”. Kemudian, berdirinya CCCS (Centre for Contemporary Cultural Studies) di Universitas Birmingham di samping kursus-kursus yang diselenggarakan dan publikasi-publikasi yang dilakukan semakin mengukuhkan institusionalisasi Cultural Studies.
Kembali ke Williams, baginya definisi budaya penting untuk dirumuskan ulang. Ia memberi definisi bahwa budaya adalah keseluruhan cara hidup dalam satu periode tertentu yang memiliki pola-pola dan mewujud dalam prakek-praktek. Yang mendasar dalam budaya ini adalah ‘perasaan bersama’ (structure of feeling).
Baginya, praktik-praktik sosial yang ada niscaya beragam, namun meskipun terdapat berbagai praktik yang boleh jadi tidak segaris namun perbedaan di antara praktik-praktik ini tidak mutlak dan pada dasarnya merupakan varian-varian dari praksis.
Strukturalisme adalah faham atau pandangan yang menyatakan bahwa semua masyarakat dan kebudayaan memiliki suatu struktur yang sama dan tetap. Strukturalisme juga adalah sebuah pembedaan secara tajam mengenai masyarakt dan ilmu kemanusiaan dari tahun 1950 hingga 1970, khususnya terjadi di Perancis. Strukturalisme berasal dari bahasa Inggris, structuralism; latin struere (membangung), structura berarti bentuk bangunan. Trend metodologis yang menyetapkan riset sebagai tugas menyingkapkan struktur objek-objek ini dikembangkan olerh para ahli humaniora. Struktualisme berkembang pada abad 20, muncul sebagai reaksi terhadap evolusionisme positivis dengan menggunakan metode-metode riset struktural yang dihasilkan oleh matematika, fisika dan ilmu-ilmu lain
Tujuan Strukturalisme adalah mencari struktur terdalam dari realitas yang tampak kacau dan beraneka ragam di permukaan secara ilmiah (obyektif, ketat dan berjarak), Ciri-ciri itu dapat dilihat strukturnya:
- Bahwa yang tidak beraturan hanya dipermukaan, namun sesungguhnya di balik itu terdapat sebuah mekanisme generatif yang kurang lebih konstan.
- Mekanisme itu selain bersifat konstan, juga terpola dan terpola dan terorganisasi, terdapat blok-blok unsur yang dikombinasikan dan dipakai untuk menjelaskan yang dipermukaan.
- Para peneliti menganggap obyektif, yaitu bisa menjaga jarak terhadap yang sebenarnya dalam penelitian mereka.
- Pendekatan dengan memakai sifat bahasa, yaitu mengidentifikasi unsur-unsur yang bersesuaian untuk menyampaikan pesan. Seperti bahasa yang selalu terdapat unsur-unsur mikro untuk menandainya, salah satunya adalah bunyi atau cara pengucapan..
- Strukturalisme dianggap melampaui humanisme, karena cenderung mengurangi, mengabaikan bahkan menegasi peran subjek
Ciri-ciri strukturalisme adalah pemusatan pada deskripsi keadaan aktual objek melalui penyelidikan, penyingkapan tabiat, sifat-sifat yang terkait dengan suatu hal melalui pendidikan. Ciri-ciri itu bisa dilihat dari beberapa hal; hirarki, komponen atau unsur-unsur, terdapat metode, model teoritis yang jelas dan distingsi yang jelas.
Para ahli strukturalisme menentang eksistensialisme dan fenomenologi yang mereka anggap terlalu individualistis dan kurang ilmiah. Salah satu yang terkenal adalah pandangan Maurice Meleau-Ponty yang menentang fenomenologi dan eksistensialisme tubuh manusia. Pounty menekankan bahwa hal yang fundamental dalam identitas manusia adalah bahwa kita adalah objek-objek fisik yang masing-masing memiliki kedudukan yang berbeda-beda dan unik dalam ruang dan waktu.
D. Kajian Busana Kerja Muslim dengan Bahan Batik Jombangan ditinjau dari Teori Strukturalisme dan Kulturalisme
Panduan busana dengan bahan batik jombangan, dipiih dari bahan katun yang dingin yang tidak mengganggu aktifitas si pemakai dan memberikan kenyamanan. Karena katun mempunyai sifat higroskopis yang menyerap keringat, sehingga sangat sesuai dengan busana kerja. Busana kerja menuntut si pemakai bergerak ana kerja ini terdiri dari bus yang dipadukan dengan bazzer, rok dan celana untuk bawahan yang bisa dilepas dan digunakan secara praktis menambah nilai lebih untuk desain busana kembaran ini. Busana yang multi fungsi untuk busana kerja dalam ruangan dan di luar ruangan yang menuntut gerak yang lebih dinamis. Untuk didalam ruangan dikenakan blus dengan blazer dan rok ketika di uar ruangan blazer bisa ditanggalkan dan rok diganti dengan menggunakan celana. Paduan ini menggambarkan seorang pekerja yang rapi, dinamis, inovatif dan kreatif.
Corak batik untuk blouse adaah bunga mawar kreasi terbaru dari pengrajin batik Jombang. Mawar merupakan lambang kecintaan wanita Jombang pada keluarga pada keluarga. Keharumannya adalah pancaran dari perilaku yang santun, lemah lembut, penyabar, dan penyayang. Warna merah atau abang juga melambangkan keberanian, mempunyai produktivitas tinggi, aktif dan berkemauan keras.
Untuk blazer dipilih batik kontemporer agar terkesan modern tapi tetap anggun. Batik ini bercorak padi, kawung, bunga jombang. Motif padi melambangkan kemakmuran dan mempunyai filosofi semakin berisi semakin merunduk yang artinya semakin kaya pengalaman dan ilmu, semakin rendah hati. Kawung melambangkan kekuatan ikatan persaudaraan, selain itu juga agar harapan agar manusia selalu ingat akan asal-usulnya, dan motif lingkaran mencerminkan pribadi seorang pemimpin. Dan yang paling khas adalah corak batik kembang jombang yang sangat luar biasa, mulai bunga sampai akar bisa dimanfaatkan untuk kesehatan.
Pemilihan warna hijau dan abang diambil dari kata Jombang yaitu ijo lan abang. Warna hijaunya mewakili simbol bahwasannya jombang adalah kota santri dan juga melambangkan kesuburan, ketenangan, keimanan dan ketaqwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa.
BAB III
PENUTUP
IV.1. Kesimpulan
IV .2. Saran
DAFTAR PUSTAKA
http://www.baju-bajumuslimah.com/
http://blog.rumahmadani.com/2012/05/busana-muslim-kerja-stylish-dan-modern.html
http://kurakurabiru.multiply.com/journal/item/392/Batik-Jombangan-Dulu-dan-Kini-3
http://id.wikipedia.org/wiki/Batik_Jombang
http://kalunya.blogspot.com/2011/03/motif-batik-jombang.html
http://www.prianganpos.com/2012/07/askurifai-baksin_29.html
LAMPIRAN
Desain Busana Kerja Muslim dengan Bahan bati jombangan
| |||
| |||
0 comments:
Post a Comment